Rabu, 21 Oktober 2015

Cerpen: Mentari yang Hilang Bag. 1

cerpen, Haluan 16 maret 2015


Mentari yang hilang (bag 1)
Oleh: Fuji Wahyuni

Di sudut ruangan tampak seorang gadis remaja sedang membersihkan meja. Dengan sangat hati-hati di sapukannya kemoceng ke seluruh permukaan meja. Setelah selesai membersihkan meja ia kemudian memasak telor dadar untuk makan malam papa dan adiknya. Setelah semua pekerjaannya beres barulah ia mengambil buku pelajarannya.
Flo, gadis kecil itu memandangi buku yang terhampar didepannya. Buku yang berjudul “panduan menghadapi ujian nasional” itu dibolak-baliknya beberapa kali, tapi sepertinya ia tidak sedang berusaha memahami isi buku tersebut. Pandangannya kosong dan nanar, pikirannya melayang kemana-mana. “mama...Flo kangen sama mama.” Ia berkata lirih. Air mata menetes membasahi pipinya. Ya sebentar lagi Flo akan menghadapi ujian akhir, ia sangat membutuhkan dukung dari mama, namun sang mama tak ada disampingnya.
Buku itu hanya ditatapnya, sedangkan pikirannya melayang pada kejadian setahun yang lalu.
Dulu Flo mempunyai kehidupan yang menurut orang-orang sangat sempurna. Ia mempunyai papa dan mama yang menyayanginya, memenuhi segala kebutuhannya meskipun sang papa harus terpisah dari anak istrinya. Papa mengadu nasib di luar kota, mencoba mencari peruntungan dengan maksud bisa memenuhi segala kebutuhan anak dan istrinya. Kenyataannya memang hidup Flo berkecukupan, tak kurang satu apapun. Lebaran adalah waktu yang paling ditunggu-tunggu Flo, karena saat itulah dia, mama, dan sang adik bisa berkumpul bersama papa.
Namun lebaran kali ini berbeda, waktu yang seharusnya menjadi momen bahagia harus ternodai oleh pertengkaran mama dan papa. Entah apa sebab dan alasannya, tiba-tiba saja mama menuduh papa telah mempunyai wanita lain di kota sana. Papa berusaha membela diri, namun mama yang keras kepala tak lagi bisa dibantah. Flo hanya diam, menyaksikan sepotong kisah sinetron yang dilakoni oleh kedua orang tuanya. Biasanya hanya di televisi ia menyaksikan adegan ini, akan tetapi sekarang hal itu nyata di depan mata.
Semuanya berubah haluan. Kebahagian itu telah sirna. Papa kembali ke luar kota, mama semakin membenci papa dan sekarang Flo harus mendengar segala hal yang buruk tentang papa. Flo gadis kecil, masih polos, apapun yang dikatakan mama menurutnya adalah sesuatu yang benar adanya. Lambat laun rasa benci terhadap papa mulai tumbuh di dalam hati Flo. Mama baginya seperti malaikat yang melindunginya dari seorang papa yang tidak bertanggungjawab.
Babak baru dalam sandiwara kehidupan Flo dimulai. Mama mulai mengenalkan calon papa baru untuk Flo. Gadis kecil itu terlalu patuh untuk sekedar membantah perkataan mama. Maka malam itu ketika mama menyuruh Flo untuk berdandan yang rapi, acara makan malam bersama calon papa baru, Flo hanya menuruti perkataan mama.
“sayang, ini calon papa baru kamu! Kamu bisa memanggilnya papa sekarang. Orangnya baik kok!”
Flo hanya tersenyum, menyalami calon papa barunya dengan hati-hati. Tak ada niat untuk berbuat lebih, karena ia juga tak tahu mesti melakukan apa. Ingin rasanya ia menghentikan semua itu, mengembalikan keluarganya agar utuh kembali. Namun teringat akan papa yang meninggalkan dirinya, adiknya, dan mama, diurungkannya keinginan itu.
Ketika suatu waktu papa memutuskan untuk tinggal bersama-sama agar tak ada lagi kesalahpahaman, namun suasana semakin runyam. Mama tetap mempertahankan pacarnya, sementara papa tak dapat berbuat banyak. Mungkin aturan adat yang membatasinya, sebagai seorang suami di Minangkabau yang tinggal di rumah istrinya, papa bagaikan abu di ateh tunggua. Tak berhak memutuskan segala sesuatu di rumah istrinya. Papa bukannya tak sanggup membeli rumah sendiri untuk keluarga kecilnya, tapi mama tak menginginkan itu, ia ingin agar tetap tinggal dirumah orang tuanya. Jadilah papa seorang sumando di rumah tersebut, ibarat seorang tamu yang dihormati tetapi tidak berhak memberikan suatu keputusan. Papa tak bisa berbuat banyak, karena ia sadar dimana ia berada.
***
Pagi yang indah, cahaya matahari mulai memasuki kamar Flo melalui celah-celah jendela. Flo segera beranjak dari ranjangnya, ia melihat jam di meja. Sudah pukul 07.00, hari ini hari Minggu jadi dia bisa bangun agak siang, tapi tunggu dulu, ada sebuah amplop dengan warna merah muda yang tergeletak di atas meja. Flo memunguti amplop tersebut.  Bersambung


Tidak ada komentar:

Posting Komentar