Rabu, 07 Oktober 2015

Cerpen: Kado Spesial untuk Mama

cerpen, terbit di haluan 15 februari 2015

Kado Spesial untuk Mama
Oleh: Fuji Wahyuni

Aku duduk dengan gelisah sambil sesekali melirik jam ditangan, sudah dua jam lebih kami terjebak dalam kemacetan kota Padang, memang ini jamnya orang-orang pulang dari kantor, jadi wajar saja kalau jalanan sangat macet. Tapi aku sudah tidak sabar ingin sampai dirumah, bertemu dengan mama dan memberikan kejutan spesial dihari ulang tahun mama.  Disampingku izam dengan fokus mengendarai mobil agar kita bisa sampai dirumah secepat mungkin. Dibangku belakang Om Ferdy, ayahnya izam duduk membisu tanpa sepatah katapun.
“sudahlah di, tenang aja! kamu gak usah gelisah seperti itu. Bentar lagi nyampe kok.” izam berkata padaku sambil terus menyetir.
“bukan begitu zam, aku takut aja nanti mama gak suka atau mama malah marahin aku lagi.” Aku berkata dengan nada cemas.
“udah di, gak usah berpikir macam-macam deh, kamu fokus aja pada surprisenya!”
Aku terdiam, teringat akan mama yang mungkin sedang sendirian dirumah. Mama, wanita terhebat yang pernah kutemui dalam hidupku. Ya mungkin bagi semua orang mama mereka adalah sosok hebat, namun menurutku mamaku jauh lebih hebat dan kuat karena bisa membesarkanku sendirian. Mamaku juga bisa berperan sebagai sahabat, teman curhat, bahkan sebagai ayah sekalipun untukku.
Dilahirkan tanpa seorang ayah membuatku lebih dekat dengan sosok yang ku panggil mama. Ya aku lahir tanpa mempunyai ayah. Bukan, bukan begitu, lebih tepatnya aku lahir tanpa mengetahui siapa ayahku. Menurut cerita mama, papa meninggalkan kami saat aku berusia 7 bulan dalam rahim mama. Mama tak mau menceritakan tentang papa lebih banyak, yang jelas papa meninggalkan mama yang tengah mengandung 7 bulan tanpa alasan yang jelas. hal itu membuatku tidak mengenali sosok papa, bahkan aku tidak pernah mengetahui bagaimana rasanya mempunyai seorang papa.
Sejak kepergian papa, mama berjuang untuk membesarkan aku sendirian. Apapun caranya akan ditempuh mama agar bisa mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan kami, asalkan itu halal. Mama bekerja disebuah perusahaan dengan gaji yang lumayan besar, tidak jarang mama lembur sampai tengah malam. Menurut mama aku harus bahagia sampai hari tua nanti. Memang kenyataannya hidupku selalu berkecukupan, apapun yang aku inginkan selalu terpenuhi. Hidupku penuh dengan kemewahan yang diberikan mama untukku.
Tapi mama tidak pernah melupakanku walaupun setiap harinya bekerja banting tulang. Sedapat mungkin mama menggunakan waktu luangnya untuk menemani aku bermain. Saat aku masih kecil setiap hari mama selalu memandikanku, mendandani, lalu menyiapkan dan menemaniku sarapan, setelah itu barulah mama berangkat ke kantor. Mama tidak pernah membiarkanku untuk di asuh oleh seorang baby sitter bahkan urusan pekerjaan rumahpun mama selalu mengerjakannya sendiri tanpa bantuan seorang asisten rumah tangga.
Dari segi fisik mamaku sangat cantik, tak heran jika banyak lelaki yang mendekatinya, namun ketika orang-orang bertanya “kapan mau menikah lagi?” mamaku hanya tersenyum dan berkata “belum dipikirkan, sekarang masih fokus memebesarkan anak dulu.” Entah karena trauma dengan pernikahan masa lalunya atau karena tidak mau aku mempunyai papa tiri, aku tak tahu alasan mama kenapa, padahal banyak lelaki yang mau menikahi mama baik yang duda maupun yang masih perjaka. Tapi yang jelas aku sangat menyesal ketika suatu hari mama bertanya padaku.
“di, kalau seandainya kamu punya papa baru, kamu mau nggak?” mama bertanya dengan sangat hati-hati. Saat itu aku masih berusia 12 tahun, yang ada dalam benakku papa baru itu jelas sangat menggangu, apalagi seorang lelaki itu bukanlah orang yang bertanggung jawab seperti halnya papaku yang telah meninggalkan kami. Aku sudah cukup nyaman hidup berdua dengan mama.
“nggak, aku gak mau. Aku tak butuh papa, aku Cuma butuh mama saja. pokoknya kalau mama mau menikah lagi aku gak mau pulang.”
Saat itu aku belum mengerti akan kebahagin mama, yang aku tahu aku harus bahagia dan kebahagianku itu adalah dengan adanya mama disampingku. Mama menuruti kemauanku, hidup sendiri tanpa pendamping. Kata mama “yang penting aku bahagia, apapun itu akan mama lakukan.”
Waktu terus berjalan, tahun berganti tahun. Aku tumbuh besar tanpa seorang ayah disisiku. Aku menamatkan kuliah dengan prestasi yang cukup membanggakan, semua itu berkat mama, berkat semua fasilitas yang telah diberikan mama untukku. Sebagai mahasiswa lulusan Akuntansi aku bekerja pada sebuah perusahaan sebagai manager keuangan. Hampir setiap hari aku bekerja, bahkan terkadang harus lembur sampai larut malam. Tidak jarang aku harus menghadiri meeting di luar kota yang memakan waktu berhari-hari.
Pekerjaan membuat waktuku tersita sehingga aku sudah sangat jarang untuk sekedar berkumpul dengan mama. Mama mengerti keadaanku, ia tidak banyak menuntut, “yang terpenting kamu bahagia dengan pekerjaanmu” itulah kata mama. Apalagi sekarang aku juga mempunyai seorang kekasih, , lelaki yang menurutku lebih dewasa dan bertanggung jawab. Jika ada waktu luang tentu saja aku akan melewatkannya bersama kekasihku ketimbang bersama mama.
Ketika suatu hari aku tersadar bahwa mama teramat kesepian. Mama sering melamun sendirian, menonton televisi sampai larut malam padahal acara yang ditontonnya tidak jelas. aku sangat tahu bahwa tontonan itu bukanlah selera mama, menonton televisi adalah salah satu cara mama membunuh kesendiriannya. Aku kasihan melihat mama ketika orang-orang menenteng barang belanjaanya yang berat bersama suami mereka, mama harus kuat membawanya sendirian karena tak ada suami yang bisa di ajaknya untuk saling meringankan beban. Sialnya aku baru menyadari hal itu akhir-akhir ini, kenapa aku bisa terlambat menyadari semuanya. Kenapa tidak dari dulu?
Aku tahu mama mencintai seorang lelaki, Om Ferdy namanya. Ia cinta pertama mama sejak kelas 2 SMA, mereka pacaran cukup lama hingga akhirnya orang tua mama menjodohkan mama dengan seorang lelaki kaya. Mama begitu mencintai Om Ferdy, begitupula sebaliknya, namun apalah daya mama tidak bisa menolak keinginan orang tuanya untuk menikah dengan lelaki kaya pilihan mereka. Lelaki kaya itu adalah ayah biologisku yang sampai saat inipun aku tidak tahu wujudnya seperti apa.
Om Ferdy akhirnya menikah dengan perempuan lain, namun saat melahirkan anak pertama mereka, istrinya Om Ferdy meninggal dunia. Mama yang seorang janda bertemu kembali dengan cinta pertamanya yang juga duda, hal itu membuat rasa cinta mereka kembali bersemi. Aku mengetahui hal itu karena aku sering membaca pesan-pesan dari Om Ferdy di ponsel mama. Saat itu aku membaca pesan kalau Om Ferdy ingin menikahi mama, mama mengatakan kalau ia masih mencintai Om Ferdy seperti dulu, namun mama tidak bisa menerima pinangan itu karena harus membahagiakan putri semata wayangnya yaitu aku. Aku baru menyadari akhir-akhir ini kalau mama menolak Om Ferdy gara-gara aku yang tidak mau mempunyai papa tiri.
Mobil yang dikendarai izampun sampai di depan rumahku. Aku segera turun dan berlari menuju pintu rumah. Mama menyambutku dengan senyuman hangat seperti bisanya. Ku peluk mama dengan erat, “mama selamat ulang tahun ya! Maafkan aku belum bisa menjadi anak yang membanggakan untuk mama, tapi hari ini aku mempunyai kado spesial untuk mama, mudah-mudahan mama menyukainya dan bisa membuat mama senang” aku berbisik ditelinga mama dengan air mata yang berurai.
Aku menuntun mama menuju mobil, kubuka pintu mobil dengan perlahan, Om Ferdy keluar dengan senyum mengembang. Jas hitam yang dipadukan dengan kemeja biru membuat Om Ferdy kelihatan gagah meskipun usianya sudah memasuki kepala empat. Mama terlihat terkejut, namun dari sorot matanya mama terlihat bahagia.
“mama, ini kado spesial dihari ulang tahun mama yang ke empat puluh ini dari aku, putri semata wayang mama. hanya ini yang bisa aku berikan untuk mama, aku tahu mama mencintai Om Ferdy, tapi gara-gara aku mama menolak lamaran Om Ferdy. Sekarang aku ikhlas kok kalau mama mau menikah lagi. Kali ini aku mohon terimalah lamaran Om Ferdy untukku ma!”
“sayang, mama tidak butuh apa-apa, asalkan kamu bahagia itu sudah lebih dari cukup. Kalau memang kamu tidak menginginkan mama menikah tidak apa-apa sayang, jangan memaksakan diri.”
“aku ikhlas ma, aku melakukan semua ini demi kebahagian mama. Tidak ada keterpaksaan ma.” Ku lihat mama menitikkan air mata, lalu memelukku.
“terima kasih sayang.” Mama merangkulku.
Om Ferdy berlutut sambil menyerahkan cincin berlian kehadapan mama, senyum menghiasi bibirnya. Aku tersenyum memberi kode pada mama agar menerimanya. Mama tersenyum menerimanya, Om Ferdy tersenyum, Izam tersenyum. Kami semua ikut senang, sebentar lagi aku dan izam akan menjadi saudara.
Semua perjuanganku terbayar lunas saat melihat kebahagian di mata orang-orang yang aku sayangi. Aku mencari Om Ferdy berbulan-bulan lamanya. Ketika suatu saat aku mengetahui bahwa Om Ferdy adalah ayah dari Izam, kekasihku. Aku sangat kaget, syok, dan rasanya ingin marah. Namun secepatnya aku menguasai emosiku, aku tidak boleh egois, aku harus mengorbankan perasaanku demi mama, mama saja rela mengorbankan kebahagiannya demi aku, kenapa aku tidak?. Saat itu terpikir olehku untuk memberikan mama kado spesial, aku membujuk Izam agar bisa kuajak kerjasama. Awalnya Izam tak mau, ia marah begitu mengetahui rencanaku. Ia bilang kalau ia begitu mencintaiku dan ia tak mau kami menjadi saudara, namun aku berhasil meyakinkannya, kalau ini adalah pengorbanan terbesar untuk orang-orang yang kita cintai. Untuk mama yang telah membahagiakanku, untuk papa yang telah membesarkan izam dengan baik.
Selesai


Tidak ada komentar:

Posting Komentar