cerpen, Haluan 22 Maret 2015
Mentari yang Hilang (selesai)
oleh: Fuji Wahyuni
Untuk
Flo tersayang.
Flo
maafkan mama, mama harus pergi. Mama sudah tidak tahan lagi hidup bersama papa
kamu, mama sudah menemukan lelaki yang mama cintai dan mama akan pergi
bersamanya. Kamu tetaplah bersama papa, jangan nakal, jaga Dean ya!
Flo tak mampu berkata
apa-apa, ia sedih, marah, dan kecewa. Kenapa mama malah tega meninggalkannya
sendirian. Bukankah mama bilang ia akan melindung Flo dari seorang papa yang
menurutnya suka selingkuh. Flo bingung menjawab teka-teki semua ini. Dibawanya
surat itu keluar, di perlihatkannya pada papa.
Papa tersenyum pahit sambil
berka. “Flo yang sabar ya sayang! Papa yakin Flo anak yang kuat” hanya kata itu
yang mampu terucap oleh papa. Papa sepertinya terpukul atas kejadian itu. Flo
tak habis pikir dengan mama, kenapa ia tega meninggalkan anak dan suaminya demi
lelaki lain. Bukankah selama ini papa yang dituduhkan berbuat demikain, tapi
kenapa kejadiannya malah sebaliknya.
Usianya masih terlalu
muda untuk menanggung semua penderitaan itu. Masih terlalu kecil untuk bisa
mengerti arti kerasnya kehidupan. Namun ia harus tetap menjalaninya, menikmati
alur demi alur yang diciptakan oleh kedua orang tuanya. Flo baru berusia 13
tahun, namun perjuangannya melawan kehidupan seperti orang dewasa. Sepantasnya
gadis seusia Flo membutuhkan seorang mama yang mengajarkannya banyak hal
tentang wanita, namun hal itu tidak berlaku bagi Flo. Menjalani hidup yang
keras membuatnya lebih tegar. Ingin ia berhenti saja memainkan sandiwara ini,
namun konflik-konflik dalam setiap naskah skenario harus ia pecahkan. Ia harus
kuat demi adik semata wayangnya yang sangat membutuhkan tempat bersandar, ia
harus kuat demi sang papa yang telah banting tulang menghidupinya dan adiknya,
ia harus kuat demi impiannya menemukan mama dan kembali berkumpul bersama
keluarga kecilnya.
Lama sudah Flo tak
bertemu mama, hari ini rasa rindu itu begitu membuncah. Flo sedang termenung
diatas sebuah bukit. Mentari yang biasanya menghangatkan kehidupannya sekarang
tak lagi ada. Ingin rasanya ia melompat dari ketinggian ini agar tak lagi
merasakan penderitaan berkepanjangan. Namun ketika mengingat Papa yang berjuang
mati-matian hanya untuk dirinya, niat itu ia urungkan. Ia masih memiliki papa
yang selalu menyayanginya, masih memiliki Dean, adik tercinta yang selalu mampu
membuatnya semangat menghadapi hidup. Ia harus kuat. Flo menulis sepucuk surat,
menuangkan apa yang dirasakannya, berharap sang mama bisa membacanya meskipun
hal itu mustahil terjadi.
Untuk
mama tercinta.
Mama,
hari ini seharusnya menjadi hari yang bahagia buatku. Aku telah lulus SMP
dengan nilai yang membanggakan mama, apakah mama senang dengan prestasiku. Tapi
kebahagianku tak berarti apa-apa tanpa mama disampingku. Aku sanggup bertahan
hidup sampai saat ini, aku sanggup mengukir prestasi ini karena aku masih
mempunyai harapan mama. Aku masih berharap suatu saat nanti ketika engkau
melihat prestasiku engkau akan kembali kepadaku, berkumpul lagi bersama
keluarga kecil kita. Aku melakukan ini untukmu mama, agar kau bangga memilki
aku.
Mama,
sempat aku ingin mengakhiri saja hidup ini, aku sudah tak sanggup lagi
menanggung beban ini ma, namun ketika aku berfikir kalau aku mati aku tak akan
bisa bertemu mama lagi, niat itu aku urungkan ma. Aku tetap bertahan disini demi
mama, agar aku bisa melihat mama kembali.
Mama
kapankah mama akan menemaniku, mendampingiku menjalani kehidupan yang keras
ini. Mama apakah mama tak sayang lagi padaku, kenapa justru aku tinggal bersama
Bako mama, bersama keluarga papa yang aku tak terlalu mengenalnya. Kenapa harus
orang lain yang merawatku, menyayangiku bahkan melebihi mamaku sendiri.
Mama
jika engkau sempat membaca suratku ini, ketahuilah aku menulisnya dengan
segenap perasaan rindu yang membara. Dengan segenap cinta yang tak ternilai
harganya. Dengan air mata yang terurai karena terlalu lama menanggung rasa ini.
salam kangen dan sayang mama. Dari anakmu yang selalu mengharapkan kehadiranmu.
Flo memandangi surat
itu, air matanya menetes membasahi surat, meninggalkan bekas-bekas di atas
kertas putih. Bekas-bekas derita dan kerinduan yang selama ini ditanggungnya
seorang diri. Ia melipat surat itu membentuk layangan. Ia berbisik kepada
angin. “angin terbangkanlah surat ini menuju mama, sampaikan salam rinduku padanya.
Dari anak yang ditinggalkan, yang selalu berusaha tegar.”
Mentari itu telah
hilang, ditelan awan kegelapan. Mendung menggantikan kedudukannya, mencurahkan
air mata kerinduan. Membasahi setiap permukaan yang sedang merintih kesakitan.
Akankah mentari itu akan muncul kembali? selesai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar