Rabu, 21 Oktober 2015

Cerpen: Mentari yang Hilang (selesai)




 cerpen, Haluan 22 Maret 2015
Mentari yang Hilang (selesai)
oleh: Fuji Wahyuni

Untuk Flo tersayang.
Flo maafkan mama, mama harus pergi. Mama sudah tidak tahan lagi hidup bersama papa kamu, mama sudah menemukan lelaki yang mama cintai dan mama akan pergi bersamanya. Kamu tetaplah bersama papa, jangan nakal, jaga Dean ya!
Flo tak mampu berkata apa-apa, ia sedih, marah, dan kecewa. Kenapa mama malah tega meninggalkannya sendirian. Bukankah mama bilang ia akan melindung Flo dari seorang papa yang menurutnya suka selingkuh. Flo bingung menjawab teka-teki semua ini. Dibawanya surat itu keluar, di perlihatkannya pada papa.
Papa tersenyum pahit sambil berka. “Flo yang sabar ya sayang! Papa yakin Flo anak yang kuat” hanya kata itu yang mampu terucap oleh papa. Papa sepertinya terpukul atas kejadian itu. Flo tak habis pikir dengan mama, kenapa ia tega meninggalkan anak dan suaminya demi lelaki lain. Bukankah selama ini papa yang dituduhkan berbuat demikain, tapi kenapa kejadiannya malah sebaliknya.
Usianya masih terlalu muda untuk menanggung semua penderitaan itu. Masih terlalu kecil untuk bisa mengerti arti kerasnya kehidupan. Namun ia harus tetap menjalaninya, menikmati alur demi alur yang diciptakan oleh kedua orang tuanya. Flo baru berusia 13 tahun, namun perjuangannya melawan kehidupan seperti orang dewasa. Sepantasnya gadis seusia Flo membutuhkan seorang mama yang mengajarkannya banyak hal tentang wanita, namun hal itu tidak berlaku bagi Flo. Menjalani hidup yang keras membuatnya lebih tegar. Ingin ia berhenti saja memainkan sandiwara ini, namun konflik-konflik dalam setiap naskah skenario harus ia pecahkan. Ia harus kuat demi adik semata wayangnya yang sangat membutuhkan tempat bersandar, ia harus kuat demi sang papa yang telah banting tulang menghidupinya dan adiknya, ia harus kuat demi impiannya menemukan mama dan kembali berkumpul bersama keluarga kecilnya.
Lama sudah Flo tak bertemu mama, hari ini rasa rindu itu begitu membuncah. Flo sedang termenung diatas sebuah bukit. Mentari yang biasanya menghangatkan kehidupannya sekarang tak lagi ada. Ingin rasanya ia melompat dari ketinggian ini agar tak lagi merasakan penderitaan berkepanjangan. Namun ketika mengingat Papa yang berjuang mati-matian hanya untuk dirinya, niat itu ia urungkan. Ia masih memiliki papa yang selalu menyayanginya, masih memiliki Dean, adik tercinta yang selalu mampu membuatnya semangat menghadapi hidup. Ia harus kuat. Flo menulis sepucuk surat, menuangkan apa yang dirasakannya, berharap sang mama bisa membacanya meskipun hal itu mustahil terjadi.
Untuk mama tercinta.
Mama, hari ini seharusnya menjadi hari yang bahagia buatku. Aku telah lulus SMP dengan nilai yang membanggakan mama, apakah mama senang dengan prestasiku. Tapi kebahagianku tak berarti apa-apa tanpa mama disampingku. Aku sanggup bertahan hidup sampai saat ini, aku sanggup mengukir prestasi ini karena aku masih mempunyai harapan mama. Aku masih berharap suatu saat nanti ketika engkau melihat prestasiku engkau akan kembali kepadaku, berkumpul lagi bersama keluarga kecil kita. Aku melakukan ini untukmu mama, agar kau bangga memilki aku.
Mama, sempat aku ingin mengakhiri saja hidup ini, aku sudah tak sanggup lagi menanggung beban ini ma, namun ketika aku berfikir kalau aku mati aku tak akan bisa bertemu mama lagi, niat itu aku urungkan ma. Aku tetap bertahan disini demi mama, agar aku bisa melihat mama kembali.
Mama kapankah mama akan menemaniku, mendampingiku menjalani kehidupan yang keras ini. Mama apakah mama tak sayang lagi padaku, kenapa justru aku tinggal bersama Bako mama, bersama keluarga papa yang aku tak terlalu mengenalnya. Kenapa harus orang lain yang merawatku, menyayangiku bahkan melebihi mamaku sendiri.
Mama jika engkau sempat membaca suratku ini, ketahuilah aku menulisnya dengan segenap perasaan rindu yang membara. Dengan segenap cinta yang tak ternilai harganya. Dengan air mata yang terurai karena terlalu lama menanggung rasa ini. salam kangen dan sayang mama. Dari anakmu yang selalu mengharapkan kehadiranmu.
Flo memandangi surat itu, air matanya menetes membasahi surat, meninggalkan bekas-bekas di atas kertas putih. Bekas-bekas derita dan kerinduan yang selama ini ditanggungnya seorang diri. Ia melipat surat itu membentuk layangan. Ia berbisik kepada angin. “angin terbangkanlah surat ini menuju mama, sampaikan salam rinduku padanya. Dari anak yang ditinggalkan, yang selalu berusaha tegar.”
Mentari itu telah hilang, ditelan awan kegelapan. Mendung menggantikan kedudukannya, mencurahkan air mata kerinduan. Membasahi setiap permukaan yang sedang merintih kesakitan. Akankah mentari itu akan muncul kembali? selesai.

Cerpen: Mentari yang Hilang Bag. 1

cerpen, Haluan 16 maret 2015


Mentari yang hilang (bag 1)
Oleh: Fuji Wahyuni

Di sudut ruangan tampak seorang gadis remaja sedang membersihkan meja. Dengan sangat hati-hati di sapukannya kemoceng ke seluruh permukaan meja. Setelah selesai membersihkan meja ia kemudian memasak telor dadar untuk makan malam papa dan adiknya. Setelah semua pekerjaannya beres barulah ia mengambil buku pelajarannya.
Flo, gadis kecil itu memandangi buku yang terhampar didepannya. Buku yang berjudul “panduan menghadapi ujian nasional” itu dibolak-baliknya beberapa kali, tapi sepertinya ia tidak sedang berusaha memahami isi buku tersebut. Pandangannya kosong dan nanar, pikirannya melayang kemana-mana. “mama...Flo kangen sama mama.” Ia berkata lirih. Air mata menetes membasahi pipinya. Ya sebentar lagi Flo akan menghadapi ujian akhir, ia sangat membutuhkan dukung dari mama, namun sang mama tak ada disampingnya.
Buku itu hanya ditatapnya, sedangkan pikirannya melayang pada kejadian setahun yang lalu.
Dulu Flo mempunyai kehidupan yang menurut orang-orang sangat sempurna. Ia mempunyai papa dan mama yang menyayanginya, memenuhi segala kebutuhannya meskipun sang papa harus terpisah dari anak istrinya. Papa mengadu nasib di luar kota, mencoba mencari peruntungan dengan maksud bisa memenuhi segala kebutuhan anak dan istrinya. Kenyataannya memang hidup Flo berkecukupan, tak kurang satu apapun. Lebaran adalah waktu yang paling ditunggu-tunggu Flo, karena saat itulah dia, mama, dan sang adik bisa berkumpul bersama papa.
Namun lebaran kali ini berbeda, waktu yang seharusnya menjadi momen bahagia harus ternodai oleh pertengkaran mama dan papa. Entah apa sebab dan alasannya, tiba-tiba saja mama menuduh papa telah mempunyai wanita lain di kota sana. Papa berusaha membela diri, namun mama yang keras kepala tak lagi bisa dibantah. Flo hanya diam, menyaksikan sepotong kisah sinetron yang dilakoni oleh kedua orang tuanya. Biasanya hanya di televisi ia menyaksikan adegan ini, akan tetapi sekarang hal itu nyata di depan mata.
Semuanya berubah haluan. Kebahagian itu telah sirna. Papa kembali ke luar kota, mama semakin membenci papa dan sekarang Flo harus mendengar segala hal yang buruk tentang papa. Flo gadis kecil, masih polos, apapun yang dikatakan mama menurutnya adalah sesuatu yang benar adanya. Lambat laun rasa benci terhadap papa mulai tumbuh di dalam hati Flo. Mama baginya seperti malaikat yang melindunginya dari seorang papa yang tidak bertanggungjawab.
Babak baru dalam sandiwara kehidupan Flo dimulai. Mama mulai mengenalkan calon papa baru untuk Flo. Gadis kecil itu terlalu patuh untuk sekedar membantah perkataan mama. Maka malam itu ketika mama menyuruh Flo untuk berdandan yang rapi, acara makan malam bersama calon papa baru, Flo hanya menuruti perkataan mama.
“sayang, ini calon papa baru kamu! Kamu bisa memanggilnya papa sekarang. Orangnya baik kok!”
Flo hanya tersenyum, menyalami calon papa barunya dengan hati-hati. Tak ada niat untuk berbuat lebih, karena ia juga tak tahu mesti melakukan apa. Ingin rasanya ia menghentikan semua itu, mengembalikan keluarganya agar utuh kembali. Namun teringat akan papa yang meninggalkan dirinya, adiknya, dan mama, diurungkannya keinginan itu.
Ketika suatu waktu papa memutuskan untuk tinggal bersama-sama agar tak ada lagi kesalahpahaman, namun suasana semakin runyam. Mama tetap mempertahankan pacarnya, sementara papa tak dapat berbuat banyak. Mungkin aturan adat yang membatasinya, sebagai seorang suami di Minangkabau yang tinggal di rumah istrinya, papa bagaikan abu di ateh tunggua. Tak berhak memutuskan segala sesuatu di rumah istrinya. Papa bukannya tak sanggup membeli rumah sendiri untuk keluarga kecilnya, tapi mama tak menginginkan itu, ia ingin agar tetap tinggal dirumah orang tuanya. Jadilah papa seorang sumando di rumah tersebut, ibarat seorang tamu yang dihormati tetapi tidak berhak memberikan suatu keputusan. Papa tak bisa berbuat banyak, karena ia sadar dimana ia berada.
***
Pagi yang indah, cahaya matahari mulai memasuki kamar Flo melalui celah-celah jendela. Flo segera beranjak dari ranjangnya, ia melihat jam di meja. Sudah pukul 07.00, hari ini hari Minggu jadi dia bisa bangun agak siang, tapi tunggu dulu, ada sebuah amplop dengan warna merah muda yang tergeletak di atas meja. Flo memunguti amplop tersebut.  Bersambung


Rabu, 07 Oktober 2015

Cerpen: Kado Spesial untuk Mama

cerpen, terbit di haluan 15 februari 2015

Kado Spesial untuk Mama
Oleh: Fuji Wahyuni

Aku duduk dengan gelisah sambil sesekali melirik jam ditangan, sudah dua jam lebih kami terjebak dalam kemacetan kota Padang, memang ini jamnya orang-orang pulang dari kantor, jadi wajar saja kalau jalanan sangat macet. Tapi aku sudah tidak sabar ingin sampai dirumah, bertemu dengan mama dan memberikan kejutan spesial dihari ulang tahun mama.  Disampingku izam dengan fokus mengendarai mobil agar kita bisa sampai dirumah secepat mungkin. Dibangku belakang Om Ferdy, ayahnya izam duduk membisu tanpa sepatah katapun.
“sudahlah di, tenang aja! kamu gak usah gelisah seperti itu. Bentar lagi nyampe kok.” izam berkata padaku sambil terus menyetir.
“bukan begitu zam, aku takut aja nanti mama gak suka atau mama malah marahin aku lagi.” Aku berkata dengan nada cemas.
“udah di, gak usah berpikir macam-macam deh, kamu fokus aja pada surprisenya!”
Aku terdiam, teringat akan mama yang mungkin sedang sendirian dirumah. Mama, wanita terhebat yang pernah kutemui dalam hidupku. Ya mungkin bagi semua orang mama mereka adalah sosok hebat, namun menurutku mamaku jauh lebih hebat dan kuat karena bisa membesarkanku sendirian. Mamaku juga bisa berperan sebagai sahabat, teman curhat, bahkan sebagai ayah sekalipun untukku.
Dilahirkan tanpa seorang ayah membuatku lebih dekat dengan sosok yang ku panggil mama. Ya aku lahir tanpa mempunyai ayah. Bukan, bukan begitu, lebih tepatnya aku lahir tanpa mengetahui siapa ayahku. Menurut cerita mama, papa meninggalkan kami saat aku berusia 7 bulan dalam rahim mama. Mama tak mau menceritakan tentang papa lebih banyak, yang jelas papa meninggalkan mama yang tengah mengandung 7 bulan tanpa alasan yang jelas. hal itu membuatku tidak mengenali sosok papa, bahkan aku tidak pernah mengetahui bagaimana rasanya mempunyai seorang papa.
Sejak kepergian papa, mama berjuang untuk membesarkan aku sendirian. Apapun caranya akan ditempuh mama agar bisa mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan kami, asalkan itu halal. Mama bekerja disebuah perusahaan dengan gaji yang lumayan besar, tidak jarang mama lembur sampai tengah malam. Menurut mama aku harus bahagia sampai hari tua nanti. Memang kenyataannya hidupku selalu berkecukupan, apapun yang aku inginkan selalu terpenuhi. Hidupku penuh dengan kemewahan yang diberikan mama untukku.
Tapi mama tidak pernah melupakanku walaupun setiap harinya bekerja banting tulang. Sedapat mungkin mama menggunakan waktu luangnya untuk menemani aku bermain. Saat aku masih kecil setiap hari mama selalu memandikanku, mendandani, lalu menyiapkan dan menemaniku sarapan, setelah itu barulah mama berangkat ke kantor. Mama tidak pernah membiarkanku untuk di asuh oleh seorang baby sitter bahkan urusan pekerjaan rumahpun mama selalu mengerjakannya sendiri tanpa bantuan seorang asisten rumah tangga.
Dari segi fisik mamaku sangat cantik, tak heran jika banyak lelaki yang mendekatinya, namun ketika orang-orang bertanya “kapan mau menikah lagi?” mamaku hanya tersenyum dan berkata “belum dipikirkan, sekarang masih fokus memebesarkan anak dulu.” Entah karena trauma dengan pernikahan masa lalunya atau karena tidak mau aku mempunyai papa tiri, aku tak tahu alasan mama kenapa, padahal banyak lelaki yang mau menikahi mama baik yang duda maupun yang masih perjaka. Tapi yang jelas aku sangat menyesal ketika suatu hari mama bertanya padaku.
“di, kalau seandainya kamu punya papa baru, kamu mau nggak?” mama bertanya dengan sangat hati-hati. Saat itu aku masih berusia 12 tahun, yang ada dalam benakku papa baru itu jelas sangat menggangu, apalagi seorang lelaki itu bukanlah orang yang bertanggung jawab seperti halnya papaku yang telah meninggalkan kami. Aku sudah cukup nyaman hidup berdua dengan mama.
“nggak, aku gak mau. Aku tak butuh papa, aku Cuma butuh mama saja. pokoknya kalau mama mau menikah lagi aku gak mau pulang.”
Saat itu aku belum mengerti akan kebahagin mama, yang aku tahu aku harus bahagia dan kebahagianku itu adalah dengan adanya mama disampingku. Mama menuruti kemauanku, hidup sendiri tanpa pendamping. Kata mama “yang penting aku bahagia, apapun itu akan mama lakukan.”
Waktu terus berjalan, tahun berganti tahun. Aku tumbuh besar tanpa seorang ayah disisiku. Aku menamatkan kuliah dengan prestasi yang cukup membanggakan, semua itu berkat mama, berkat semua fasilitas yang telah diberikan mama untukku. Sebagai mahasiswa lulusan Akuntansi aku bekerja pada sebuah perusahaan sebagai manager keuangan. Hampir setiap hari aku bekerja, bahkan terkadang harus lembur sampai larut malam. Tidak jarang aku harus menghadiri meeting di luar kota yang memakan waktu berhari-hari.
Pekerjaan membuat waktuku tersita sehingga aku sudah sangat jarang untuk sekedar berkumpul dengan mama. Mama mengerti keadaanku, ia tidak banyak menuntut, “yang terpenting kamu bahagia dengan pekerjaanmu” itulah kata mama. Apalagi sekarang aku juga mempunyai seorang kekasih, , lelaki yang menurutku lebih dewasa dan bertanggung jawab. Jika ada waktu luang tentu saja aku akan melewatkannya bersama kekasihku ketimbang bersama mama.
Ketika suatu hari aku tersadar bahwa mama teramat kesepian. Mama sering melamun sendirian, menonton televisi sampai larut malam padahal acara yang ditontonnya tidak jelas. aku sangat tahu bahwa tontonan itu bukanlah selera mama, menonton televisi adalah salah satu cara mama membunuh kesendiriannya. Aku kasihan melihat mama ketika orang-orang menenteng barang belanjaanya yang berat bersama suami mereka, mama harus kuat membawanya sendirian karena tak ada suami yang bisa di ajaknya untuk saling meringankan beban. Sialnya aku baru menyadari hal itu akhir-akhir ini, kenapa aku bisa terlambat menyadari semuanya. Kenapa tidak dari dulu?
Aku tahu mama mencintai seorang lelaki, Om Ferdy namanya. Ia cinta pertama mama sejak kelas 2 SMA, mereka pacaran cukup lama hingga akhirnya orang tua mama menjodohkan mama dengan seorang lelaki kaya. Mama begitu mencintai Om Ferdy, begitupula sebaliknya, namun apalah daya mama tidak bisa menolak keinginan orang tuanya untuk menikah dengan lelaki kaya pilihan mereka. Lelaki kaya itu adalah ayah biologisku yang sampai saat inipun aku tidak tahu wujudnya seperti apa.
Om Ferdy akhirnya menikah dengan perempuan lain, namun saat melahirkan anak pertama mereka, istrinya Om Ferdy meninggal dunia. Mama yang seorang janda bertemu kembali dengan cinta pertamanya yang juga duda, hal itu membuat rasa cinta mereka kembali bersemi. Aku mengetahui hal itu karena aku sering membaca pesan-pesan dari Om Ferdy di ponsel mama. Saat itu aku membaca pesan kalau Om Ferdy ingin menikahi mama, mama mengatakan kalau ia masih mencintai Om Ferdy seperti dulu, namun mama tidak bisa menerima pinangan itu karena harus membahagiakan putri semata wayangnya yaitu aku. Aku baru menyadari akhir-akhir ini kalau mama menolak Om Ferdy gara-gara aku yang tidak mau mempunyai papa tiri.
Mobil yang dikendarai izampun sampai di depan rumahku. Aku segera turun dan berlari menuju pintu rumah. Mama menyambutku dengan senyuman hangat seperti bisanya. Ku peluk mama dengan erat, “mama selamat ulang tahun ya! Maafkan aku belum bisa menjadi anak yang membanggakan untuk mama, tapi hari ini aku mempunyai kado spesial untuk mama, mudah-mudahan mama menyukainya dan bisa membuat mama senang” aku berbisik ditelinga mama dengan air mata yang berurai.
Aku menuntun mama menuju mobil, kubuka pintu mobil dengan perlahan, Om Ferdy keluar dengan senyum mengembang. Jas hitam yang dipadukan dengan kemeja biru membuat Om Ferdy kelihatan gagah meskipun usianya sudah memasuki kepala empat. Mama terlihat terkejut, namun dari sorot matanya mama terlihat bahagia.
“mama, ini kado spesial dihari ulang tahun mama yang ke empat puluh ini dari aku, putri semata wayang mama. hanya ini yang bisa aku berikan untuk mama, aku tahu mama mencintai Om Ferdy, tapi gara-gara aku mama menolak lamaran Om Ferdy. Sekarang aku ikhlas kok kalau mama mau menikah lagi. Kali ini aku mohon terimalah lamaran Om Ferdy untukku ma!”
“sayang, mama tidak butuh apa-apa, asalkan kamu bahagia itu sudah lebih dari cukup. Kalau memang kamu tidak menginginkan mama menikah tidak apa-apa sayang, jangan memaksakan diri.”
“aku ikhlas ma, aku melakukan semua ini demi kebahagian mama. Tidak ada keterpaksaan ma.” Ku lihat mama menitikkan air mata, lalu memelukku.
“terima kasih sayang.” Mama merangkulku.
Om Ferdy berlutut sambil menyerahkan cincin berlian kehadapan mama, senyum menghiasi bibirnya. Aku tersenyum memberi kode pada mama agar menerimanya. Mama tersenyum menerimanya, Om Ferdy tersenyum, Izam tersenyum. Kami semua ikut senang, sebentar lagi aku dan izam akan menjadi saudara.
Semua perjuanganku terbayar lunas saat melihat kebahagian di mata orang-orang yang aku sayangi. Aku mencari Om Ferdy berbulan-bulan lamanya. Ketika suatu saat aku mengetahui bahwa Om Ferdy adalah ayah dari Izam, kekasihku. Aku sangat kaget, syok, dan rasanya ingin marah. Namun secepatnya aku menguasai emosiku, aku tidak boleh egois, aku harus mengorbankan perasaanku demi mama, mama saja rela mengorbankan kebahagiannya demi aku, kenapa aku tidak?. Saat itu terpikir olehku untuk memberikan mama kado spesial, aku membujuk Izam agar bisa kuajak kerjasama. Awalnya Izam tak mau, ia marah begitu mengetahui rencanaku. Ia bilang kalau ia begitu mencintaiku dan ia tak mau kami menjadi saudara, namun aku berhasil meyakinkannya, kalau ini adalah pengorbanan terbesar untuk orang-orang yang kita cintai. Untuk mama yang telah membahagiakanku, untuk papa yang telah membesarkan izam dengan baik.
Selesai