cerpen, terbit di haluan 15 februari 2015
Kado Spesial untuk Mama
Oleh: Fuji Wahyuni
Aku duduk dengan
gelisah sambil sesekali melirik jam ditangan, sudah dua jam lebih kami terjebak
dalam kemacetan kota Padang, memang ini jamnya orang-orang pulang dari kantor,
jadi wajar saja kalau jalanan sangat macet. Tapi aku sudah tidak sabar ingin
sampai dirumah, bertemu dengan mama dan memberikan kejutan spesial dihari ulang
tahun mama. Disampingku izam dengan
fokus mengendarai mobil agar kita bisa sampai dirumah secepat mungkin. Dibangku
belakang Om Ferdy, ayahnya izam duduk membisu tanpa sepatah katapun.
“sudahlah di, tenang
aja! kamu gak usah gelisah seperti itu. Bentar lagi nyampe kok.” izam berkata
padaku sambil terus menyetir.
“bukan begitu zam, aku
takut aja nanti mama gak suka atau mama malah marahin aku lagi.” Aku berkata
dengan nada cemas.
“udah di, gak usah
berpikir macam-macam deh, kamu fokus aja pada surprisenya!”
Aku terdiam, teringat
akan mama yang mungkin sedang sendirian dirumah. Mama, wanita terhebat yang
pernah kutemui dalam hidupku. Ya mungkin bagi semua orang mama mereka adalah
sosok hebat, namun menurutku mamaku jauh lebih hebat dan kuat karena bisa
membesarkanku sendirian. Mamaku juga bisa berperan sebagai sahabat, teman
curhat, bahkan sebagai ayah sekalipun untukku.
Dilahirkan tanpa
seorang ayah membuatku lebih dekat dengan sosok yang ku panggil mama. Ya aku
lahir tanpa mempunyai ayah. Bukan, bukan begitu, lebih tepatnya aku lahir tanpa
mengetahui siapa ayahku. Menurut cerita mama, papa meninggalkan kami saat aku
berusia 7 bulan dalam rahim mama. Mama tak mau menceritakan tentang papa lebih
banyak, yang jelas papa meninggalkan mama yang tengah mengandung 7 bulan tanpa
alasan yang jelas. hal itu membuatku tidak mengenali sosok papa, bahkan aku
tidak pernah mengetahui bagaimana rasanya mempunyai seorang papa.
Sejak kepergian papa,
mama berjuang untuk membesarkan aku sendirian. Apapun caranya akan ditempuh
mama agar bisa mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan kami, asalkan itu
halal. Mama bekerja disebuah perusahaan dengan gaji yang lumayan besar, tidak
jarang mama lembur sampai tengah malam. Menurut mama aku harus bahagia sampai
hari tua nanti. Memang kenyataannya hidupku selalu berkecukupan, apapun yang
aku inginkan selalu terpenuhi. Hidupku penuh dengan kemewahan yang diberikan
mama untukku.
Tapi mama tidak pernah
melupakanku walaupun setiap harinya bekerja banting tulang. Sedapat mungkin
mama menggunakan waktu luangnya untuk menemani aku bermain. Saat aku masih
kecil setiap hari mama selalu memandikanku, mendandani, lalu menyiapkan dan
menemaniku sarapan, setelah itu barulah mama berangkat ke kantor. Mama tidak
pernah membiarkanku untuk di asuh oleh seorang baby sitter bahkan urusan
pekerjaan rumahpun mama selalu mengerjakannya sendiri tanpa bantuan seorang
asisten rumah tangga.
Dari segi fisik mamaku
sangat cantik, tak heran jika banyak lelaki yang mendekatinya, namun ketika
orang-orang bertanya “kapan mau menikah lagi?” mamaku hanya tersenyum dan
berkata “belum dipikirkan, sekarang masih fokus memebesarkan anak dulu.” Entah
karena trauma dengan pernikahan masa lalunya atau karena tidak mau aku mempunyai
papa tiri, aku tak tahu alasan mama kenapa, padahal banyak lelaki yang mau
menikahi mama baik yang duda maupun yang masih perjaka. Tapi yang jelas aku
sangat menyesal ketika suatu hari mama bertanya padaku.
“di, kalau seandainya
kamu punya papa baru, kamu mau nggak?” mama bertanya dengan sangat hati-hati.
Saat itu aku masih berusia 12 tahun, yang ada dalam benakku papa baru itu jelas
sangat menggangu, apalagi seorang lelaki itu bukanlah orang yang bertanggung
jawab seperti halnya papaku yang telah meninggalkan kami. Aku sudah cukup
nyaman hidup berdua dengan mama.
“nggak, aku gak mau.
Aku tak butuh papa, aku Cuma butuh mama saja. pokoknya kalau mama mau menikah
lagi aku gak mau pulang.”
Saat itu aku belum
mengerti akan kebahagin mama, yang aku tahu aku harus bahagia dan kebahagianku
itu adalah dengan adanya mama disampingku. Mama menuruti kemauanku, hidup
sendiri tanpa pendamping. Kata mama “yang penting aku bahagia, apapun itu akan
mama lakukan.”
Waktu terus berjalan,
tahun berganti tahun. Aku tumbuh besar tanpa seorang ayah disisiku. Aku
menamatkan kuliah dengan prestasi yang cukup membanggakan, semua itu berkat
mama, berkat semua fasilitas yang telah diberikan mama untukku. Sebagai
mahasiswa lulusan Akuntansi aku bekerja pada sebuah perusahaan sebagai manager
keuangan. Hampir setiap hari aku bekerja, bahkan terkadang harus lembur sampai
larut malam. Tidak jarang aku harus menghadiri meeting di luar kota yang memakan waktu berhari-hari.
Pekerjaan membuat
waktuku tersita sehingga aku sudah sangat jarang untuk sekedar berkumpul dengan
mama. Mama mengerti keadaanku, ia tidak banyak menuntut, “yang terpenting kamu
bahagia dengan pekerjaanmu” itulah kata mama. Apalagi sekarang aku juga
mempunyai seorang kekasih, , lelaki yang menurutku lebih dewasa dan bertanggung
jawab. Jika ada waktu luang tentu saja aku akan melewatkannya bersama kekasihku
ketimbang bersama mama.
Ketika suatu hari aku
tersadar bahwa mama teramat kesepian. Mama sering melamun sendirian, menonton
televisi sampai larut malam padahal acara yang ditontonnya tidak jelas. aku
sangat tahu bahwa tontonan itu bukanlah selera mama, menonton televisi adalah
salah satu cara mama membunuh kesendiriannya. Aku kasihan melihat mama ketika
orang-orang menenteng barang belanjaanya yang berat bersama suami mereka, mama
harus kuat membawanya sendirian karena tak ada suami yang bisa di ajaknya untuk
saling meringankan beban. Sialnya aku baru menyadari hal itu akhir-akhir ini,
kenapa aku bisa terlambat menyadari semuanya. Kenapa tidak dari dulu?
Aku tahu mama mencintai
seorang lelaki, Om Ferdy namanya. Ia cinta pertama mama sejak kelas 2 SMA,
mereka pacaran cukup lama hingga akhirnya orang tua mama menjodohkan mama
dengan seorang lelaki kaya. Mama begitu mencintai Om Ferdy, begitupula
sebaliknya, namun apalah daya mama tidak bisa menolak keinginan orang tuanya
untuk menikah dengan lelaki kaya pilihan mereka. Lelaki kaya itu adalah ayah
biologisku yang sampai saat inipun aku tidak tahu wujudnya seperti apa.
Om Ferdy akhirnya
menikah dengan perempuan lain, namun saat melahirkan anak pertama mereka,
istrinya Om Ferdy meninggal dunia. Mama yang seorang janda bertemu kembali
dengan cinta pertamanya yang juga duda, hal itu membuat rasa cinta mereka
kembali bersemi. Aku mengetahui hal itu karena aku sering membaca pesan-pesan
dari Om Ferdy di ponsel mama. Saat itu aku membaca pesan kalau Om Ferdy ingin
menikahi mama, mama mengatakan kalau ia masih mencintai Om Ferdy seperti dulu,
namun mama tidak bisa menerima pinangan itu karena harus membahagiakan putri
semata wayangnya yaitu aku. Aku baru menyadari akhir-akhir ini kalau mama
menolak Om Ferdy gara-gara aku yang tidak mau mempunyai papa tiri.
Mobil yang dikendarai
izampun sampai di depan rumahku. Aku segera turun dan berlari menuju pintu
rumah. Mama menyambutku dengan senyuman hangat seperti bisanya. Ku peluk mama
dengan erat, “mama selamat ulang tahun ya! Maafkan aku belum bisa menjadi anak
yang membanggakan untuk mama, tapi hari ini aku mempunyai kado spesial untuk
mama, mudah-mudahan mama menyukainya dan bisa membuat mama senang” aku berbisik
ditelinga mama dengan air mata yang berurai.
Aku menuntun mama
menuju mobil, kubuka pintu mobil dengan perlahan, Om Ferdy keluar dengan senyum
mengembang. Jas hitam yang dipadukan dengan kemeja biru membuat Om Ferdy
kelihatan gagah meskipun usianya sudah memasuki kepala empat. Mama terlihat
terkejut, namun dari sorot matanya mama terlihat bahagia.
“mama, ini kado spesial
dihari ulang tahun mama yang ke empat puluh ini dari aku, putri semata wayang
mama. hanya ini yang bisa aku berikan untuk mama, aku tahu mama mencintai Om
Ferdy, tapi gara-gara aku mama menolak lamaran Om Ferdy. Sekarang aku ikhlas
kok kalau mama mau menikah lagi. Kali ini aku mohon terimalah lamaran Om Ferdy
untukku ma!”
“sayang, mama tidak
butuh apa-apa, asalkan kamu bahagia itu sudah lebih dari cukup. Kalau memang
kamu tidak menginginkan mama menikah tidak apa-apa sayang, jangan memaksakan
diri.”
“aku ikhlas ma, aku
melakukan semua ini demi kebahagian mama. Tidak ada keterpaksaan ma.” Ku lihat
mama menitikkan air mata, lalu memelukku.
“terima kasih sayang.”
Mama merangkulku.
Om Ferdy berlutut
sambil menyerahkan cincin berlian kehadapan mama, senyum menghiasi bibirnya.
Aku tersenyum memberi kode pada mama agar menerimanya. Mama tersenyum
menerimanya, Om Ferdy tersenyum, Izam tersenyum. Kami semua ikut senang,
sebentar lagi aku dan izam akan menjadi saudara.
Semua perjuanganku
terbayar lunas saat melihat kebahagian di mata orang-orang yang aku sayangi. Aku
mencari Om Ferdy berbulan-bulan lamanya. Ketika suatu saat aku mengetahui bahwa
Om Ferdy adalah ayah dari Izam, kekasihku. Aku sangat kaget, syok, dan rasanya
ingin marah. Namun secepatnya aku menguasai emosiku, aku tidak boleh egois, aku
harus mengorbankan perasaanku demi mama, mama saja rela mengorbankan
kebahagiannya demi aku, kenapa aku tidak?. Saat itu terpikir olehku untuk
memberikan mama kado spesial, aku membujuk Izam agar bisa kuajak kerjasama.
Awalnya Izam tak mau, ia marah begitu mengetahui rencanaku. Ia bilang kalau ia
begitu mencintaiku dan ia tak mau kami menjadi saudara, namun aku berhasil
meyakinkannya, kalau ini adalah pengorbanan terbesar untuk orang-orang yang
kita cintai. Untuk mama yang telah membahagiakanku, untuk papa yang telah
membesarkan izam dengan baik.
Selesai