Kamis, 20 Juli 2017

MENUMBUHKAN RASA CINTA TANAH AIR MELALUI SEBELAS PATRIOT





Judul Novel                  : Sebelas Patriot.
Pengarang                     : Andrea Hirata
Editor                            : Imam Risdiyanto, Ditta Sekar Cempaka
Penerbit                         : Bentang Pustaka
Tahun terbit                  : Juni 2011
Cetakan                         : Pertama
Kota terbit                    : Yogyakarta
Tebal buku                    : 108 halaman+cover
ISBN                            : 978-602-8811-52-1

Novel Sebelas Patriot karya Andrea Hirata menceritakan tentang seorang anak bernama Ikal yang bercita-cita menjadi pemain PSSI. Cita-citanya tersebut bermula saat ia mengetahui bahwa ayahnya adalah seorang pemain bola sayap kiri pada masa penjajahan Belanda. Pada masa penjajahan ayah Ikal dan kedua saudaranya bertanding melawan Belanda. Saat Belanda mengetahui kehebatan ayah Ikal dan saudaranya, Belanda menjadi marah dan meminta ketiga bersaudara itu untuk berhenti bermain bola. Karena berani melawan Belanda, ayah Ikal ditangkap dan disiksa sampai tempurung kaki kirinya hancur.
Sejak tempurung kaki kirinya hancur, karir ayah Ikal sebagai pemain sepak bola harus terhenti dan cita-citanya untuk menjadi pemain PSSI pupus lah sudah. Ikal yang mengetahui hal tersebut bertekad mewujudkan cita-cita ayah yang tak sempat digapainya. Ikal berlatih dengan gigih dan tekun agar bisa lolos pada seleksi nantinya. Meskipun harus menjalani latihan yang sangat keras, namun Ikal tetap semangat. Ia selalu menjadikan foto sang ayah sebagai obat jika ia dilanda kelelahan.
Andrea Hirata, penulis novel Sebelas Patriot lahir di Belitung pada tanggal 24 Oktober 1982 dengan nama asli Aqil Barraq Badruddin Seman Said Harun. Ia tumbuh dan dibesarkan di Belitung seperti anak-anak perkampungan lainnya. Kehidupannya dapat tercermin pada novel-novelnya yang telah diterbitkan. Setamat SMA, ia merantau ke Jawa, melanjutkan studi di FE-UI. Seusai meraih gelar sarjana ekonomi, ia berhasil mendapatkan beasiswa dari Uni Eropa untuk mengambil gelar master di Universite de Paris Sorbonne, Perancis serta Sheffield Hallam University, di Inggris.
Novel Sebelas Patriot karya Andrea Hirata ini merupakan novel yang sangat inspiratif dan memotivasi. Novel ini memberikan inspirasi tentang makna sebagai orang Indonesia yang akan selalu mencintai negeri sendiri. Judul Sebelas Patriot sesuai dengan isi novel yang menceritakan tentang jiwa patriotisme yang direalisasikan pada permainan sepak bola. Tokoh Ikal dalam novel Sebelas Patriot karya Andrea Hirata merupakan sosok yang pantang menyerah dan gigih dalam menggapai segala mimpi. Adegan demi adegan disajikan dengan sangat apik dan membuat pembaca deg-degan dengan rangkaian alur ceritanya. Bahasa yang digunakan juga ringan dan mudah dipahami oleh pembaca. Kekurangan dari novel ini adalah jumlah halaman yang terlalu sedikit yaitu sebanyak 108 halaman.
Novel Sebelas Patriot karya Andrea Hirata merupakan sebuah novel yang mempunyai nilai-nilai cinta tanah air. Novel ini cocok untuk di baca oleh semua kalangan, terutama untuk mereka para pencinta sepak bola. Novel ini juga wajib di baca oleh para pemuda-pemudi  bangsa agar lebih mempunyai jiwa patriotisme dan semangat yang tinggi.

Senin, 09 Mei 2016

Pulau Kapo-Kapo


Singgalang, Minggu 20 Maret 2016
Pulau Kapo-kapo, Pesona Alam yang Tersembunyi
Oleh: Fuji Wahyuni
Jika jalan-jalan Ke Pesisir Selatan, Sumatera Barat, maka mata kita akan dimanjakan dengan pemandangan yang sangat mempesona. Salah satu pesona alam yang tersembunyi adalah pulau Kapo-kapo yang terletak di Kecamatan Koto XI Tarusan. Keindahan pulau ini masih asri karena belum banyak tersentuh tangan-tangan nakal.
Untuk mencapai pulau ini kita harus naik speed boat dari dermaga Tarusan. Cukup dengan membayar sekitar Rp. 500.000 per rombongan yang berisikan sekitar 15-20 orang, speed boat akan membawa kita ke tempat tujuan. Diperlukan waktu sekitar setengah jam untuk mencapai pulau Kapo-kapo ini. Tapi jangan cemas, waktu setengah jam tidak akan terasa lama karena disepanjang perjalanan sejauh mata memandang hanya ada keindahan alam yang di dominasi oleh warna hijau pulau-pulau kecil dan birunya air laut. Sebelum mencapai pulau Kapo-kapo kita akan memasuki sebuah lorong yang kiri kananya di penuhi oleh hutan mangrove, sungguh pemandangan yang sangat indah.
Sesampainya di Pulau Kapo-kapo kita akan disambut oleh penduduk yang ada di sana. Keramahan mereka dalam menerima tamu menjadi nilai plus di pulau ini. Hanya ada 9 kepala keluarga yang menetap dipulau Kapo-kapo dan mereka merupakan satu garis keturunan. Jika kita haus ataupun lapar tidak usah khawatir. Penduduk disini membuka warung-warung kecil yang menjual berbagai macam makanan dan minuman. Salah satu makanan yang terkenal di pulau Kapo-kapo ini adalah Kalio Gurita yang dimasak oleh masyarakat setempat. Menikmati Kalio Gurita sambil duduk di atas tikar di tepi pantai sangatlah menyenangkan, ditambah dengan hembusan angin sepoi-sepoi membuat selera makan menjadi naik dua kali lipat.
Di pulau ini terdapat sebuah bukit yang jika kita mendaki hingga ke puncaknya, maka pemandangan pantai akan terlihat sempurna. Dari atas bukit kita bisa menyaksikan pemandangan yang sangat eksotis di bawah sana. Hamparan pantai, rumah penduduk, dan pohon-pohon kelapa yang bergoyang tertiup angin adalah keindahan yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Pulau Kapo-kapo, pulau tersembunyi yang menyimpan sejuta pesona. Rasanya tidak cukup waktu sehari untuk menikmati keindahan pulau ini.
                                                                                                               







Rabu, 21 Oktober 2015

Cerpen: Mentari yang Hilang (selesai)




 cerpen, Haluan 22 Maret 2015
Mentari yang Hilang (selesai)
oleh: Fuji Wahyuni

Untuk Flo tersayang.
Flo maafkan mama, mama harus pergi. Mama sudah tidak tahan lagi hidup bersama papa kamu, mama sudah menemukan lelaki yang mama cintai dan mama akan pergi bersamanya. Kamu tetaplah bersama papa, jangan nakal, jaga Dean ya!
Flo tak mampu berkata apa-apa, ia sedih, marah, dan kecewa. Kenapa mama malah tega meninggalkannya sendirian. Bukankah mama bilang ia akan melindung Flo dari seorang papa yang menurutnya suka selingkuh. Flo bingung menjawab teka-teki semua ini. Dibawanya surat itu keluar, di perlihatkannya pada papa.
Papa tersenyum pahit sambil berka. “Flo yang sabar ya sayang! Papa yakin Flo anak yang kuat” hanya kata itu yang mampu terucap oleh papa. Papa sepertinya terpukul atas kejadian itu. Flo tak habis pikir dengan mama, kenapa ia tega meninggalkan anak dan suaminya demi lelaki lain. Bukankah selama ini papa yang dituduhkan berbuat demikain, tapi kenapa kejadiannya malah sebaliknya.
Usianya masih terlalu muda untuk menanggung semua penderitaan itu. Masih terlalu kecil untuk bisa mengerti arti kerasnya kehidupan. Namun ia harus tetap menjalaninya, menikmati alur demi alur yang diciptakan oleh kedua orang tuanya. Flo baru berusia 13 tahun, namun perjuangannya melawan kehidupan seperti orang dewasa. Sepantasnya gadis seusia Flo membutuhkan seorang mama yang mengajarkannya banyak hal tentang wanita, namun hal itu tidak berlaku bagi Flo. Menjalani hidup yang keras membuatnya lebih tegar. Ingin ia berhenti saja memainkan sandiwara ini, namun konflik-konflik dalam setiap naskah skenario harus ia pecahkan. Ia harus kuat demi adik semata wayangnya yang sangat membutuhkan tempat bersandar, ia harus kuat demi sang papa yang telah banting tulang menghidupinya dan adiknya, ia harus kuat demi impiannya menemukan mama dan kembali berkumpul bersama keluarga kecilnya.
Lama sudah Flo tak bertemu mama, hari ini rasa rindu itu begitu membuncah. Flo sedang termenung diatas sebuah bukit. Mentari yang biasanya menghangatkan kehidupannya sekarang tak lagi ada. Ingin rasanya ia melompat dari ketinggian ini agar tak lagi merasakan penderitaan berkepanjangan. Namun ketika mengingat Papa yang berjuang mati-matian hanya untuk dirinya, niat itu ia urungkan. Ia masih memiliki papa yang selalu menyayanginya, masih memiliki Dean, adik tercinta yang selalu mampu membuatnya semangat menghadapi hidup. Ia harus kuat. Flo menulis sepucuk surat, menuangkan apa yang dirasakannya, berharap sang mama bisa membacanya meskipun hal itu mustahil terjadi.
Untuk mama tercinta.
Mama, hari ini seharusnya menjadi hari yang bahagia buatku. Aku telah lulus SMP dengan nilai yang membanggakan mama, apakah mama senang dengan prestasiku. Tapi kebahagianku tak berarti apa-apa tanpa mama disampingku. Aku sanggup bertahan hidup sampai saat ini, aku sanggup mengukir prestasi ini karena aku masih mempunyai harapan mama. Aku masih berharap suatu saat nanti ketika engkau melihat prestasiku engkau akan kembali kepadaku, berkumpul lagi bersama keluarga kecil kita. Aku melakukan ini untukmu mama, agar kau bangga memilki aku.
Mama, sempat aku ingin mengakhiri saja hidup ini, aku sudah tak sanggup lagi menanggung beban ini ma, namun ketika aku berfikir kalau aku mati aku tak akan bisa bertemu mama lagi, niat itu aku urungkan ma. Aku tetap bertahan disini demi mama, agar aku bisa melihat mama kembali.
Mama kapankah mama akan menemaniku, mendampingiku menjalani kehidupan yang keras ini. Mama apakah mama tak sayang lagi padaku, kenapa justru aku tinggal bersama Bako mama, bersama keluarga papa yang aku tak terlalu mengenalnya. Kenapa harus orang lain yang merawatku, menyayangiku bahkan melebihi mamaku sendiri.
Mama jika engkau sempat membaca suratku ini, ketahuilah aku menulisnya dengan segenap perasaan rindu yang membara. Dengan segenap cinta yang tak ternilai harganya. Dengan air mata yang terurai karena terlalu lama menanggung rasa ini. salam kangen dan sayang mama. Dari anakmu yang selalu mengharapkan kehadiranmu.
Flo memandangi surat itu, air matanya menetes membasahi surat, meninggalkan bekas-bekas di atas kertas putih. Bekas-bekas derita dan kerinduan yang selama ini ditanggungnya seorang diri. Ia melipat surat itu membentuk layangan. Ia berbisik kepada angin. “angin terbangkanlah surat ini menuju mama, sampaikan salam rinduku padanya. Dari anak yang ditinggalkan, yang selalu berusaha tegar.”
Mentari itu telah hilang, ditelan awan kegelapan. Mendung menggantikan kedudukannya, mencurahkan air mata kerinduan. Membasahi setiap permukaan yang sedang merintih kesakitan. Akankah mentari itu akan muncul kembali? selesai.

Cerpen: Mentari yang Hilang Bag. 1

cerpen, Haluan 16 maret 2015


Mentari yang hilang (bag 1)
Oleh: Fuji Wahyuni

Di sudut ruangan tampak seorang gadis remaja sedang membersihkan meja. Dengan sangat hati-hati di sapukannya kemoceng ke seluruh permukaan meja. Setelah selesai membersihkan meja ia kemudian memasak telor dadar untuk makan malam papa dan adiknya. Setelah semua pekerjaannya beres barulah ia mengambil buku pelajarannya.
Flo, gadis kecil itu memandangi buku yang terhampar didepannya. Buku yang berjudul “panduan menghadapi ujian nasional” itu dibolak-baliknya beberapa kali, tapi sepertinya ia tidak sedang berusaha memahami isi buku tersebut. Pandangannya kosong dan nanar, pikirannya melayang kemana-mana. “mama...Flo kangen sama mama.” Ia berkata lirih. Air mata menetes membasahi pipinya. Ya sebentar lagi Flo akan menghadapi ujian akhir, ia sangat membutuhkan dukung dari mama, namun sang mama tak ada disampingnya.
Buku itu hanya ditatapnya, sedangkan pikirannya melayang pada kejadian setahun yang lalu.
Dulu Flo mempunyai kehidupan yang menurut orang-orang sangat sempurna. Ia mempunyai papa dan mama yang menyayanginya, memenuhi segala kebutuhannya meskipun sang papa harus terpisah dari anak istrinya. Papa mengadu nasib di luar kota, mencoba mencari peruntungan dengan maksud bisa memenuhi segala kebutuhan anak dan istrinya. Kenyataannya memang hidup Flo berkecukupan, tak kurang satu apapun. Lebaran adalah waktu yang paling ditunggu-tunggu Flo, karena saat itulah dia, mama, dan sang adik bisa berkumpul bersama papa.
Namun lebaran kali ini berbeda, waktu yang seharusnya menjadi momen bahagia harus ternodai oleh pertengkaran mama dan papa. Entah apa sebab dan alasannya, tiba-tiba saja mama menuduh papa telah mempunyai wanita lain di kota sana. Papa berusaha membela diri, namun mama yang keras kepala tak lagi bisa dibantah. Flo hanya diam, menyaksikan sepotong kisah sinetron yang dilakoni oleh kedua orang tuanya. Biasanya hanya di televisi ia menyaksikan adegan ini, akan tetapi sekarang hal itu nyata di depan mata.
Semuanya berubah haluan. Kebahagian itu telah sirna. Papa kembali ke luar kota, mama semakin membenci papa dan sekarang Flo harus mendengar segala hal yang buruk tentang papa. Flo gadis kecil, masih polos, apapun yang dikatakan mama menurutnya adalah sesuatu yang benar adanya. Lambat laun rasa benci terhadap papa mulai tumbuh di dalam hati Flo. Mama baginya seperti malaikat yang melindunginya dari seorang papa yang tidak bertanggungjawab.
Babak baru dalam sandiwara kehidupan Flo dimulai. Mama mulai mengenalkan calon papa baru untuk Flo. Gadis kecil itu terlalu patuh untuk sekedar membantah perkataan mama. Maka malam itu ketika mama menyuruh Flo untuk berdandan yang rapi, acara makan malam bersama calon papa baru, Flo hanya menuruti perkataan mama.
“sayang, ini calon papa baru kamu! Kamu bisa memanggilnya papa sekarang. Orangnya baik kok!”
Flo hanya tersenyum, menyalami calon papa barunya dengan hati-hati. Tak ada niat untuk berbuat lebih, karena ia juga tak tahu mesti melakukan apa. Ingin rasanya ia menghentikan semua itu, mengembalikan keluarganya agar utuh kembali. Namun teringat akan papa yang meninggalkan dirinya, adiknya, dan mama, diurungkannya keinginan itu.
Ketika suatu waktu papa memutuskan untuk tinggal bersama-sama agar tak ada lagi kesalahpahaman, namun suasana semakin runyam. Mama tetap mempertahankan pacarnya, sementara papa tak dapat berbuat banyak. Mungkin aturan adat yang membatasinya, sebagai seorang suami di Minangkabau yang tinggal di rumah istrinya, papa bagaikan abu di ateh tunggua. Tak berhak memutuskan segala sesuatu di rumah istrinya. Papa bukannya tak sanggup membeli rumah sendiri untuk keluarga kecilnya, tapi mama tak menginginkan itu, ia ingin agar tetap tinggal dirumah orang tuanya. Jadilah papa seorang sumando di rumah tersebut, ibarat seorang tamu yang dihormati tetapi tidak berhak memberikan suatu keputusan. Papa tak bisa berbuat banyak, karena ia sadar dimana ia berada.
***
Pagi yang indah, cahaya matahari mulai memasuki kamar Flo melalui celah-celah jendela. Flo segera beranjak dari ranjangnya, ia melihat jam di meja. Sudah pukul 07.00, hari ini hari Minggu jadi dia bisa bangun agak siang, tapi tunggu dulu, ada sebuah amplop dengan warna merah muda yang tergeletak di atas meja. Flo memunguti amplop tersebut.  Bersambung